Jumat, 01 April 2016

PEMIKIRAN FILSAFAT MUHAMMAD ABDUH

  Muhammad Abduh adalah tokoh yang akan dibahas pemikirannya dalam tulisan ini, adalah salah seorang pemikir yang memperkenalkan ide-ide pembaharuannya melalui reinterpretasi ajaran-ajaran Islam dengan memperhatikan realitas kekinian. Melalui ide-idenya Abduh berupaya menjawab permasalahan umat ini. Kondisi statis dan keterbelangan umat Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad merupakan agenda permasalahan pokok yang dihadapi kaum muslim di berbagai belahan dunia.
Hal ini mendorong lahirnya pemikir-pemikir muslim yang berupaya merespon dan memberikan solusi atas kondisi memperhatinkan ini.
B.     Sketsa Biografis dan Petualangan Intelektual Abduh
             Untuk menemukan gambaran yang tepat mengenai fungsi-fungsi intelektual yang disodorkan seseorang ke wilayah publik, perlu dilakukan pembongkaran dan penelusuran latar belakang kehidupannya, baik dari sisi kehidupan pribadi maupun konteks sosio-politik yang melingkupinya. Pembongkaran dan penelusuran itu dianggap perlu karena segala produk pemikiran yang dilahirkan seseorang, akan menemukan jaringan signifikasinya sebagai hasil relasi-dialektis dengan kondisi sosio politik yang ada.
             Kehadiran Abduh sebagai salah seorang modernis awal dalam Islam yang hidup pada abad ke-19, tidak bisa dipisahkan dengan fungsi intelektual yang dijalankannya dan juga lingkungan sosial dan politik. Dan tampaknya, Abduh mampu menjalankan fungsi intelektual dengan melakukan sosialisasi ide perihal modernisme Islam kepada masyarakat luas.
             Nama lengkap Abduh adalah Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahalla Nashr di kabupaten al-Buhairah Mesir1849 M. Ayahnya Abduh ibn Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Ibunya mempunyai silsilah keturunan ke kabilah Quraisy, yaitu dari Umar ibn Khattab.[1]
             Abduh mengawali pendidikannya dengan belajar membaca dan menghafal al-Qur’an.[2] Ia kemudian dikirim ke Tanta untuk belajar di masjid Syekh Ahmad di tahun 1862. Namun setelah belajar selama dua tahun. Abduh merasa tidak puas dengan metode yang diterapkan oleh Syekh Ahmad yang menurutnya tidak mampu membantunya untuk memperoleh ilmu secara maksimal.[3]
             Ketidakpuasan Abduh atas metode pengajaran yang diterapkan mengakibatkan ia meninggalkan pelajarannya di Tanta. Hal ini mengantarkan Abduh bertemu dengan Darwis Khadr yang kemudian menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan.[4]Akhirnya ia kembali ke Tanta untuk meneruskan pelajaran.
             Dari Tanta, Muhammad Abduh meneruskan pendidikannya ke al-Azhar di tahun 1866. Namun kembali ia merasa kecewa dengan sistem pengajaran yang dikembangkan di sana. Ia menemukan sistem pengajaran taqlidy, suatu sistem yang melahirkan sikap keberagaman yang didasarkan pada paket-paket pemikiran ulama abad III dan IV H. yang dianggap sudah final.[5]Namun di al-Azhar ia pun bertemu dengan beberapa dosen yang memiliki sikap yang berbeda, seperti Syeikh Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat Ibnu Sina dan logika Aristoteles dan Muhammad al-Basyuni, seorang pakar bahasa dan sastra.[6]
             Pada tahun 1871 Jamaluddin al-Afghany, seorang pejuang Islam yang diusir dari tanah airnya Afganistan oleh penjajah Inggris, tiba di Mesir.[7]Kesempatan ini Abduh pergunakan untuk berkenalan dengan pemikiran-pemikirannya.
             Setelah dua tahun, sejak pertemuannya dengan al-Afghany, Abduh mulai menulis kitab-kitab seperti Risalah al-Aridat (1873) disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani lil al-Aqaid al-Adhudhiyah (1875). Di samping itu Abduh juga menulis artikel-artikel pembaharuan di surat kabar al-Ahram, Kairo.[8]
             Tulisan-tulisan Abduh mendapat tantangan banyak ulama dan penguasa. Selain itu kedekatannya dengan Jamaluddin  al-Afghany yang memiliki kecenderungan menjadikan jalur politik sebagai sarana untuk menentang kesewenang-wenangan, imprealisme dan kolonialisme, menyebabkan ia diusir dari Mesir hingga pada tahun 1880 ia diminta kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar pemerintah al-waqa-i al-Mishriyah.
             Pada revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh dianggap terlibat dalam upaya makar tersebut hingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun. Pertama kali ia pergi ke Bairut, Siria kemudian dua tahun berikutnya ia pergi ke Paris memenuhi ajakan al-Afghany yang telah terlebih dahulu menetap di sana. Kedua tokoh ini lalu mendirikan suatu perhimpunan yang dinamakan ­al-Urwat al-Wustqa. Dan agar bisa menyalurkan semua aspiranya dalam rangka membangun ‘izzul Islam wa al-Muslimin’ kedua tokoh ini menerbitkan majalah dengan nama yang sama dengan perhimpunannya, yaitu “al-urwat al-Wustqa”. Ia menulis beberapa kitab seperti Risalah al-Tauhid, Syarh Najh al-Balagah.[9]
             Pada tahun 1889 Muhammad Abduh kembali ke Mesir.[10]Di Mesir, ia diangkat menjadi anggota Majlis A’la Azhar. Sebagai anggota ia berkesempatan untuk menuangkan ide-ide pembaharuannya dalam bidang pendidikan hingga Azhar menjadi universitas yang lebih modern.
             Muhammad Abduh meninggal dunia pada 11 Juli 1905 dalam usia 55 tahun 

C.    Ide-ide Pembaharuan Muhammad Abduh

1.      Anti Kejumudan
Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan.[11]Keadaan ini melanda umat Islam sejak abad ke-13 hingga memasuki abad 18 M pemikiran rasional yang dulu mendapat tempat yang proporsional digantikan dengan pemikiran tradisional.[12]
Sikap ini, seperti dikutip Harun Nasution dari al-Islam din al-Ilm wa al-Madaniah, menurut Muhammad Abduh dibawa ke dalam Islam oleh orang-orang bukan Arab yang kemudian dapat merampas puncak kekusaan politik di dunia Islam.[13]
Abduh berupaya melepaskan belenggu penerimaan membabi buta terhadap kepercayaan otoritatif (taqlid) yang telah membuat Mesir berada dalam kebodohan dan kemunduran selama berabad-abad. Dia ingin melewati aturan-aturan berbagai mazhab yang kaku, dan masuk ke alam kemerdekaan berpikir, sehingga dapat mengadaptasikan keyakinan-keyakinan keagamaan dengan desakan-desakan zaman modern.[14]
Muhammad Abduh menonjolkan paham Ibn Taimiyah yang menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam terdiri dari ibadah dan Muamalat. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis mengenai ibadah bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai kemasyarakatan hanya merupakan dasar-dasar prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci. Iapun melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis mengenai kemasyarakatan hanya sedikit jumlahnya karena prinsip-prinsip itu bersifat umum tanpa perincian. Abduh berpendapat bahwa semua itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.[15]
Dari wacana ini Abduh berupaya memperlihatkan keharusan dilakukannya ijtihad[16]dalam rangka menyesuaikan antara ajaran Islam dengan realitas yang selalu berubah. Abduh pun berusaha menerobos kendala-kendala ketundukan kepada otoritas ulama-ulama sebelumnya.
2.      Rasional
Muhammad Abduh menekankan pentingnya akal dalam memahami ajaran agama. Abduh berpendapat bahwa metode al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi, bahkan menyampaikan pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal.[17]
Penggunaan akal bukanlah sesuatu yang tak berdasar. Hal ini memiliki pijakan dan landasan dari teks-teks al-Qur’an.[18]Oleh sebab itu Islam, bagi Abduh, adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna bila tidak didasarkan pada akal.[19]
Penghargaan Islam terhadap akal, oleh Muhammad Abduh dimaknai bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal dan makna tekstual wahyu maka penggunaan ta’wil[20]terhadap wahyu lebih dikedepankan hingga makna teks tersebut dapat diterima akal sehat.[21]
Dengan metode ini, Abduh membuka adanya penafsiran baru terhadap ayat-ayat al-Qur’an hal tersebut dapat dilihat, misalnya ketika ia menafsirkan QS. Al-Fil (108:3-4).
وأرسل عليهم طيرا ابابيل. ترميهم بحجارة من سجيل.
Menurut Abduh, yang dimaksud dengan thair (yang terbang) adalah jenis nyamuk atau lalat yang membawa kuman-kuman penyakit, dan hijar (batu) itu dari tanah kering yang beracun, yang dibawa oleh angin dan menempel di kaki binatang-binatang itu. Berdasarkan hal ini, Abduh lebih jauh menjelaskan bahwa pasukan Abrahah yang mau meruntuhkan ka’bah pada saat itu ditimpa wabah penyakit cacar. Wabah ini dibawa oleh jenis nyamuk atau lalat tersebut.[22]
Dengan kata lain, Abduh memahami ayat ini berdasarkan ilmu kedokteran yang sudah dikenal pada saat itu. Penyakit cacar memang merupakan salah satu jenis penyakit yang bisa mematikan dalam rentang waktu yang singkat dan dapat dengan mudah mewabah hingga menulari banyak orang. Hal ini sering terhadi pada masa dahulu ketika vaksin belum ditemukan.
Terlepas dari hal di atas, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi (wahyu) khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah ibadah.[23]
3.      Reformasi sistem pendidikan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketika Muhammad Abduh menuntut ilmu, ia diperhadapkan dengan sistem pendidikan yang mengedepankan hafalan tanpa diikuti sikap kritis terhadap teks-teks agama dan karya-karya ulama sebelumnya. Sistem pendidikan seperti inilah, menurut Abduh, yang menjadi salah satu sebab hilangnya tradisi intelektual Islam yang dinamis diganti dengan penerimaan total terhadap kepercayaan otoritatif yang membawa kepada kemunduran umat.
Berdasarkan kenyataan di atas, Abduh mencurahkan perhatianya kepada upaya reformasi sistem pendidikan yang telah ada. Ia berpendapat sekolah-sekolah modern perlu di buka, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern di ajarkan di samping pengetahuan agama[24]dan ketika di angkat menjadi anggota majelis al-A’la al-Azhar ia membawa perubahan-perubahan signifikan di lembaga pendidikan Islam tertua itu.
Langkah-langkah yang di tempuh Abduh dalam membenahi Azhar paling tidak berkisar pada beberapa hal. Pertama, perbaikan kurikulum. Kedua, penyeleksian buku-buku yang baik dan bermanfaat dan Ketiga, perubahan mata kuliah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan modern.[25]
Mempermodern sistem pendidikan di Azhar, menurut pendapat Abduh, akan mempunyai pengaruh besar dalam berkembangnya usaha-usaha pembaharuan dalam Islam.[26] Namun usaha-usaha Abduh dalam mengadakan pembaharuan di al-Azhar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum dapat melihat manfaat dari perubahan-perubahan yang ditawarkan Abduh.[27]

Pada 1905 Muhammad Abduh mencetuskan ide-ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini mendapat tanggapan antusias dari pemerintah maupun masyarakat. Namun sayang, universitas yang dicita-citakan ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh meninggal dunia, Universitas Impian Abduh ini yang kemudian menjadi universitas Kairo. 

D.    Kesimpulan
             Muhammad Abduh adalah profil modernis abad ke-19 yang memegang peran penting dalam mengembangkan pemikiran modern dalam Islam.
             Abduh, melalui karya-karyanya, berupaya untuk mengeluarkan umat Islam dari kungkungan keterbelakangan yang diakibatkan oleh teologi fatalisme yang mengekang daya kreativitas mereka.
             Ide-ide pembaharuan yang dilontarkan Abduh telah memberikan dampak positif dalam perkembangan Islam selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA 
Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhidditerjemahkan oleh Firdaus dengan Judul Risalah Tauhid (Cet. X : Jakarta : Bulan Bintang, 1996)

Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Filosofi Dalam Islam, (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Amin, Ahmad, Zuama’ al-Ishla fi Ashr al-Hadis,(Cet. IV ; Mesir : Maktabah al-Nahdah, 1979)

Effendi, Muchtar, Ensiklopedia Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya.

Juyuboll, G.H.A., The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in Modern Egypt. Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan Judul Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960) (Cet. I; Bandung ; Mizan, 1999).

Khallaf, Abduh Wahab, Ilm Ushul al-Fiqh, Cet. XII. t.tp: Dar al-Qalam, 1978.

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab(Cet. I; Jakarta : Logos, 1997)

Nasution, Harun, Islam Rasional, (Cet. IV; Bandung, Mizan, 1996)

___________, Pembaharuan Dalam Islam, “Sejarah Pemikiran dan Gerakan”, Cet. XIV. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.

Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (Dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Cet. I; Yogyakarta: LPPI, 2000

Shacht, Joseph, Muhammad Abduh”. Dalam The Ensiklopedi of Islam, G.E. Boswith (ed), Vol. VII, Leiden : Ej, Brill, 1993.

Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsir al-Manar. (Cet. I; Bandung : Pustaka Hidayah, 1994)

___________, Tafsir al-Karim: Tafsir Atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi’Ulum al-Qur’an, Diterjemahkan oleh Mudzakir AS dan dengan judul Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. II; Bogor: Pustaka Litrea Antar Nusa, 1996.



[1] Mochtar Effendi. Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Universitas Sriwijaya), h.18
[2] Abduh dapat menghafal al-Qur’an dalam jangka waktu dua tahun, pada usia 13 tahun. Lihat Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (Dalam Perspektif Historis dan Ideologis) (Cet. I; Yogyakarta : LPPI, 2000), h. 32. Bandingkan dengan Mochtar Effendi, op. cit., h. 18
[3] Tentang pengalaman ini, seperti dikutip oleh Harun Nasution dari T.al-Tanahi ed., Muzakkir at al-Imam Muhammad Abduh, Abduh mengungkapkan bahwa satu setengah tahun ia belajar di masjid Syekh Ahmad tanpa mengerti apapun. Ini dikarenakan kesalahan metode yang digunakan. Guru-guru hanya mengajak para murid untuk menghafal istilah-istilah yang tidak diketahui artinya. Guru tidak merasa penting apa arti istilah itu dapat dimengerti atau tidak. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam “Sejarah Pemikiran dan Gerakan” (Cet. XIV; Jakarta : Bulan Bintang, 2003., h. 80

[4] Ahmad Amin, Zuama’ al-Ishlah fi ashr al-Hadits  (Cet. IV ; Mesir : Maktabah al-Nahdah, 1979)., h. 365-367

[5] Ibid., h. 307-308. Lihat juga M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Cet. I; Bandung : Pustaka Hidayah, 1994)., h. 13
[6] Ibid., h. 13-14
[7] Ibid., h. 14. Lihat juga Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Cet. I; Jakarta : Logos, 1997)., h. 160

[8] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 14
[9] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op. cit., h. 34. Lihat juga Joseph Schacht, “Muhammad Abduh” dalam The Ensiklopedi of Islam oleh G.E. Boswoth (ed) Vol. VII (Leiden : EJ. Brill. 1993), h.419

[10] Ibid., h.35
[11] Harun Nasution. op. cit., h. 53
[12] Harun Nasution, Islam Rasional, (Cet. IV; Bandung, Mizan, 1996) h.8
[13] Harun Nasution, PembaharuanOp.Cit., h.83
[14] G.H.A. Juyuboll, The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in Modern Egypt. Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan Judul Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960) (Cet. I; Bandung ; Mizan, 1999).

[15] Harun Nasution. Pembaharuan…op. cit., h.54
[16] Harun Nasution mengemukakan bahwa keharusan ijtihad ini bukan berarti tiap-tiap orang boleh melakukan ijtihad. Hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan yang boleh mengadakan ijtihad. Namun Harun Nasution tidak menjelaskan lebih jauh mengenai persyaratan mujthahid yang dipegang oleh Abduh. Tapi dari alur pikir Abduh “boleh jadi” persyaratan mujtahidnya tidak seketat persyaratan mujtahid konvensional seperti yang digariskan oleh para ulama tradisional, lihat misalnya Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Cet. XII; t.tp: Dar al-Qalam, 1978), h. 218-220.
[17] Hal ini seperti dikutip Quraish Shihab dari Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, kitab al-Hilal No.143, Quraish Shihab, op. cit., h.23

[18] Lihat Misalnya Q.S ; 2:44, 76 dan QS: 7:176. Ali Mufrodi, op. cit., h.161
[19] Harun Nasution, Pembaharuan….op. cit., h.56
[20] Ta’wil adalah sebuah upaya memalingkan pengertian ayat kepada pengertian yang jauh karena ada dalil yang menyertainya. Lihat Manna Khalil al-Qattau, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS, dengan judul Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Cet. III; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), h. 455.

[21] Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid diterjemahkan oleh Firdaus dengan Judul Risalah Tauhid (Cet. X : Jakarta : Bulan Bintang, 1996), h.4-5
[22] Pendapat Abduh ini sedikit banyak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama tafsir yang memahami ayat ini secara harfiah. Lihat M. Quraish Shihab. Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir Atas Surah-Surah Pendek Berdasarkan Uturan Turunnya Wahyu, (Cet. II; Bandung : Pustaka Hidayah, 1997), h. 658-659.

[23] Quraish Shihab, op. cit., h.24
[24] Ali Mufrodi, op. cit., h.158
[25] Harun Nasution, Pembaharuan, op. cit., h. 57-58. Lihat juga Yunasril Ali. Perkembangan Pemikiran Filosofi Dalam Islam (Cet. I; Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h.116-117

[26] Al-Azhar adalah universitas Islam yang memiliki reputasi di seluruh dunia Islam. Azharpun menjadi pusat pendidikan agama Islam saat ini. Lihat Harun Nasution. Pembaharuan…h.57-58
[27] Ibid., h.58

Tags:

0 Responses to “PEMIKIRAN FILSAFAT MUHAMMAD ABDUH”

Posting Komentar

Subscribe

Donec sed odio dui. Duis mollis, est non commodo luctus, nisi erat porttitor ligula, eget lacinia odio. Duis mollis

© 2013 Bagi Duit. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks