Jumat, 26 Februari 2016
PAHAM AL-ASY’ARIYAH
Jumat, 26 Februari 2016 by Unknown
Dalam wacana perkembangan teologi Islam, Mu’tazilah di sebut sebagai aliran yang mewakili golongan rasional, karena percaya pada kedudukan akal yang diberikan pada manusia atau dalam mena’wilkan ayat-ayat teologi lebih mengutamakan kekuatan akal (rasio) dari pada wahyu.[1]Sedang al-Asy’ariy mewakili teologi tradisional, karena mengambil pososi antara ekstrim rasional dan salafiyah.[2]
Asy’ariyah sebagai aliran teologi, yang dibangun oleh seoang ulama besar yaitu Abu Hasan al-Asy’ariy, beliau sendiri sebelumnya adalah murid al-Jubba’i, seorang pendiri aliran Mu’tazilah.
Dari bimbingan kemu’tazilahan, al-Asy’ariy banyak mendapatkan, utamanya, ilmu keislaman dan logika, dan karena kredibilitas keilmuannya telah diakui oleh sang guru, al-Asy’ariy sering dipercayakan menggantikan sang guru untuk memberikan pelajaran.[3] Tetapi kemudian, al-Asy’ariy keluar dari barisan Mu’tazilah, selanjutnya menjadi tokoh yang dengan gigih menentang faham rasional Mu’tazilah.
Dari bimbingan kemu’tazilahan, al-Asy’ariy banyak mendapatkan, utamanya, ilmu keislaman dan logika, dan karena kredibilitas keilmuannya telah diakui oleh sang guru, al-Asy’ariy sering dipercayakan menggantikan sang guru untuk memberikan pelajaran.[3] Tetapi kemudian, al-Asy’ariy keluar dari barisan Mu’tazilah, selanjutnya menjadi tokoh yang dengan gigih menentang faham rasional Mu’tazilah.
Silang pendapat tentang berbaliknya al-Asy’ariy dari aliran Mu’tazilah, satu pendapat, karena perdebatan antara guru dan murid, mimpi bertemu dengan Nabi Saw., pendapat lain menyatakan al-Asy’ariy kecewa karena faham rasional Mu’tazilah sudah tidak lagi sesuai dengan situasi pada saat itu.[4]
Terlepas dari soal sesuai atau tidak, al-Asy’ariy keluar dari Mu’tazilah dengan fakta sejarah, maka sisi lain dapat dapat diungkapkan bahwa al-Asy’ariy mengalami rasa skeptis dan ketidakpercayaan lagi pada kekuatan dan kemampuan akal (rasio).[5]
Setelah keluar dari barisan Mu’tazilah, al-Asy’ariy menyusun teologi “baru”, yang dilandasi atas pemikiran salafiyah dalam bingkai dialektika rasional. Karena keberpihakannya terhadap sunnah, belakangan pengikutnya menamakan diri sebagai Ahl Sunnah, kemudian menjadi kelompok yang mayoritas, maka dikenallah Ahlsunnah waljamaah.
Dari uraian tersebut di atas, maka penulis akan mengemukakan pokok masalah yaitu, “bagaimana perkembangan al-Asy’ariyah sebagai aliran Ahlusunnah waljamaah dan pengaruh dalam dunia Islam ?”
II. Perkembangan Teologi Asy’aryah Sebagai Ahlusummah Waljamaah
II. Perkembangan Teologi Asy’aryah Sebagai Ahlusummah Waljamaah
Sebagai pelopor faham Asy’ariyah, Abu Hasan al-Asy’ariy yang dilahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 H.[6]Beliau tampil sezaman dengan pembukuan hadis yang terakhir, yaitu al-Turmuziy (279 H/842 M), dengan demikian, tampil bersamaan dengan konsolidasi faham sunnah, dengan pembukuan hadis yang telah mendekati tahap penyelesaiannya.[7]
Meskipun apa yang disebut sebagai konsolidasi faham sunnah dalam Islam, sebenarnya tidak merupakan bagian dari sejarah teologi Islam, namun mempunyai arti penting dalam perkembangan teologi Islam.[8]Tampilnya Ahmad bin Hanbal sebagai pelopor paham Sunni, memberi nuansa baru pola pemikiran masyarakat,dengan mengagungkan al-Qur'ân dan sunnah Nabi Saw., yang sering dikenal sebagai faham ortodoks.
Demikian pula al-Asy’ariy keberpihakannya terhadap kedua sumber (al-Qur'ân dan Sunnah) ajaran Islam dari pada penalaran, seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah dan filosof, membangun argumen mereka dengan landasan rasio.[9]
Walaupun al-Asy’ariy mengokohkan dirinya sebagai teolog yang ingin mempertahankan bangunan teologi dalam alur argumentasi filosofis dan logis, ia berusaha menyuguhkan pandanganya dengan membuat sintesis antara pandangan ortodoks (salaf) dan pandangan rasional Mu’tazilah.[10]Tetapi kenyataannya, ia mengkritik Mu’tazilah bahkan mengoreksi hampir seluruh pandangan rasional Mu’tazilah dan mencoba menyajikan pandangannya kepada kaum ortodoks salaf, dengan rumusan yang berbeda.
Al-Asy’ariy dengan teologi barunya, menyatakan bergabung dengan faham sunni yang dipelopori oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang sering diisyaratkan sebagai “ahl al-Hadis”, yang condong kepada salaf, dan tentu saja berfaham sunnah, suatu aliran yang sangat gigih menentang rasional Mu’tazilah sebelum al-Asy’ariy. Sebutan ini diberikan, karena apabila menghadapi suatu peristiwa–khususnya ayat mutsyabihat-dan bila ternyata tidak mendapatkan solusi penyelesaiaannya, maka mereka diam saja, tanpa berusaha untuk memberikan ta’wilan pada ayat tersebut.[11]
Setelah bergabung dan memberikan gagasannya, al-Asy’ariy kemudian memberikan dukungan, hal ini yang oleh pengikutnya (Asy’ariyah) disebut sebagai faham “Ahl Sunnah”, karena berkeyakinan bahwa apa yang mereka yakini dan pahami berdasarkan warisan Rasulullah saw. atau sesuai dengan sunnah Nabi Saw, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin selanjutnya sampai kepada generasi ulama mutaqaddimin dan seterusnya. Oleh karena dianut oleh mayoritas kaum muslimin, merekapun dinamakan “al-Jamaah”,maka term ini dirangkai dengan penyebutan “Ahlusunnah waljamaah”.[12]Penyebutan term ini, tampak oleh para pengikutnya secara terang-terangan menulis dalam hasil karya mereka, seperti al-Baqillani, al-Juwaini, al-Baqdadi, al-Gazaliy, al-Razi dan sebagainya.[13]
Sebagai yang disinggung sebelumnya, al-Asy’ariy tampil bersamaan dengan konsolidasi faham sunni, masyarakat mengalihkan perhatiannya pada sunnah Nabi Saw., yang berdampak pemikiran rasional Mu’tazilah kurang diselami oleh awam, dan mendapat dukungan dari pemerintah terutama khalifah al-Mutawakkil yang dengan membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara.[14]Pada akhirnya Mu’tazilah menjadi kelompok yang minoritas, dan Ahlusunnah menjadi kelompok yang mayoritas.
Setelah al-Asy’ariy dengan faham sunni, merasa telah mendapat dukungan yang mayoritas, kemudian menyebarkannya tidak hanya terbatas pada bidang teologi saja, tetapi konsolidasi faham sunni juga pada bidang hukum (fiqh), dikenallah empat imam mazhab -Abu Hanifah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’I- dalam bidang fiqih, bidang tasauf tampillah Imam al-Gazaliy, bahkan dalam bidang politik dapat dirujuk pada tokoh al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah.[15]Bidang terakhir disebutkan –politik- yang membedakan dengan faham Syi’ah dan Sunni.
Pada perkembangan selanjutnya, faham Sunni yang notabene adalah Asy’ariyah telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga para pengikutnya –Asy’ariyah- disatu sisi mereka sependapat, dan disisi lain mereka berseberang pendapat, terutama pada konsep “Kasb” (perbuatan manusia) al-Asy’ariy, bahkan lebih condong pada penggunaan akal dan mendekati rasional Mu’tazilah.
III. Pengaruhnya dalam Dunia Islam
III. Pengaruhnya dalam Dunia Islam
Ditengah konsolidasi faham sunni, sebagai teologi yang dikembangkan oleh al-Asy’ariy telah mendapat angin segar ditengah masyarakat dan oleh penguasa, terlebih setelah tampilnya para pengikut al-Asy’ariy, terutama ketika tampilnya al-Gazali sekitar dua abad setelah al-Asy’ariy. Dengan argumentasi yang logis (penggabungan filsafat dan teologi), al-Gazali sulit tertandingi pada zamannya, terbukti ia berhasil mengekang gelombang Helenisme kedua,[16]maka tidaklah berlebihan jika al-Gazali diberi gelaran “Hujjah al-Islam”, dan disertai kehidupannya yang zuhud, Asy’ariyah mendapat tempat ditengah masyarakat.[17]
Ditengah keberhasilannya, bukan berarti tidak menemukan hambatan dalam perkembangannya, Mu’tazilah sebagai aliran tidak diperhitungkan lagi, akibat dibatalkannya oleh khalifah Mutawakkil pada tahun 848 M. Tetapi Mu’tazilah mendapat kesempatan bangkit kembali berkat kemenangan dinasti Buwaihi di Baghdad antara tahun 945 s/d 1055 M, tetapi setelah dinasti Buwaihi dijatuhkan oleh Tughral dari dinasti Saljuk pada tahun 1055 M, aliran Mu’tazilah masih sangat kuat karena didukung perdana menterinya, Abu Hazr Muhammad Ibnu Mansur al-Qundari beraliran Mu’tazilah. Namun demikian Tughral (w. 1063 M) digantikan oleh Alp Arselam dan mengangkat Nizam Mulk sebagai perdana menterinya,[18]saat itulah faham Ahlusunnah Waljamaah mulai bangkit kembali.
Perdana menteri Nizam al-Mulk yang beraliran Asy’ariyah inilah banyak mendukung perkembangan faham Ahlusunnah Waljamaah. Dia mendirikan sekolah yang diberi nama al-Nizamiyah, diantaranya di Baghdad, yang oleh al-Gazali telah banyak memberikan buah pikirannya.
Disekolah inilah diajarkan teologi Asy’ariyah, dan para pembesar negara juga menganut teologi Asy’ariyah. Dengan demikian, faham Asy’ariyahpun mulai tersebar, yang bukan hanya didaerah kekuasaan saljuk, tetapi diseluruh penjuru dunia Islam lainnya.[19]
Murid-murid al-Gazaliy banyak menyebarkan faham Ahlusunnah Waljamaah, seperti Muhammad Ibnu Tumart yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahhid (1130-1269 M) di Afrika Utara dan Spanyol. Salahuddin al-Ayyubiy di Mesir, sebagai pengganti dari aliran Syi’ah, yang kerajaan Fatimiyah yang berkuasa di Mesir (969-1171 M). Di dunia Islam bagian timur sampai ke India dibawa oleh Muhammad al-Gaznawi (999-1030 M), kemudian membentuk dinasti Gaznawi yang berkuasa di Afganistan dan Punjab (962-1186 M).[20]
Selain tokoh di atas, ada tokoh yang kaitannya dengan penyebaran faham Ahlu Sunnah Waljamaah yaitu Abu al-Fath Muhammad Ibnu Abd. al-Karim Ibnu Ahmad al-Syahrastaniy (w. 1153 M), beliau telah banyak memberikan Perguruan Tinggi di Baghdad, mengarang buku al-Milal wa al-Nihal dan Nihayah al-Aqdam fiy Ilm al-Kalam.[21]
Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209 M), seorang filosof yang dengan kemampuan argumennya menyerang aliran teologi selain Ahlusunnah, beliau juga telah menulis buku, bisalnya Muhallas.[22]
Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi (833-895 H/1427-1490 M) di Aljazair, beliau telah banyak menulis dalam bidang Kalam, diantaranya Aqidah wa al-Tauhid dan Umdah ahl al-tauhid wa al-tasdid. Buku yang kedua ini lebih dikenal dengan nama al-Risalah al-Sanusiyah, di dalamnya disebutkan sifat-sifat Tuhan dan Rasul dalam formulasi yang lebih jelas, dan inilah yang populer di Indonesia.[23]
Faham Ahlu Sunnah Waljamaah yang bersumber dari teologi Asy’ariy, telah banyak dianut umat Islam, maka selanjutnya tampillah Muhammad bin Abd Wahab yang ingin membersihkan faham-faham khurafat dan bid’ah di tengah masyarakat, dengan memperjuangkan pendapat kaum salaf.
Perkembangan selanjutnya, hal ini dapat dilihat dari komunitas mayoritas muslim sekarang ini adalah berfaham Sunni, walaupun secara formal tidaklah demikian, akan tetapi secara emosional akan tampak jelas dari cara berpikir dan bertingkah.
Agaknya tidaklah berlebihan bila dikatakan, aliran ini akan tetap eksis, hal ini dimungkinkan karena; a) merupakan jalan tengah antara dogmatisme dan liberalisme, menjadikan populer dan banyak diterima oleh umat,[24]b) akomodatif terhadap dinasti yang berkuasa dan memihak kepada awam,[25]c) tokoh-tokoh Ays’ariyah adalah para ulama dan alhi debat dalam bidangnya.
Ditengah keberhasilan teologi Asy’ariyah dalam dunia Islam, disisi lain justru mendapat kecaman yang besar, Sayyed Amer Ali menyatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam sekarang ini, salah satu sebabnya karena formalisme Asy’ariyah.[26]
IV. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, maka akan dikemukakan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1. Al-Asy’ariy membangun teologi barunya bersama Ahlusunnah merupakan jalan tengah antara dogmatis dan rasional, yang belakangan oleh pengikutnya menyebutnya sebagai Ahlusunnah Waljamaah, karena paham ini dianut mayoritas umat Islam.
2. Paham Ahlusunnah Waljamaah telah memberi pengaruh terhadap pola pikir umat, baik pada bidang teologi, tasauf dan fiqh (hukum), sehingga tidak dapat dipungkiri paham ini akan tetap eksis dalam dunia Islam.
3. Paham Ahlusunnah Waljamaah begitu cepat berkembang karena didukung oleh para penguasa pemerintahan, ulama dan metodologi kalam-dogmatis dan rasional-nya yang sederhana, dapat diterima oleh masyarakat awam.
Wa Allah al-Muwaffiq Ilaa Aqwam al-Thariq
KEPUSTAKAAN
Amin, Ahmad. Duha al-Islam. Jilid IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Jaya Murni, 1967.
Kamal, Zainun. “Kekuatan dan kelemahan Faham Asy’ariy Sebagai Doktrin Aqidah” dalam Budhy Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1994.
Madjid, Nurcholish. Hazanah Intelektual. Jakarta: Bulan Bintang,1984.
----------. Islam Doktrin dan Perdaban. Cet. I; Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1992.
Madkour, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah; Manhaj wa al-Tatbiq, ditrjemahkan oleh Yudhian Wahyudi dengan judul “Aliran dan Teori Filsafat Islam”. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Mazani, Syaiful. Islam Rasional; Gagasan dan Pemnikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.
Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah analiss perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1996.
Qasim, Mahmud. Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyan. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1973.
Siradj, H. Said Agil. Ahlusunnah Waljamaah dalam Lintasan Sejarah. Cet. I; Jogyakarta: LKPSM, 1997.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Islam. Jilid I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Watt, W. Montgomery. Islamic Theology and Philosophy, diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul “Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam”. Cet. I; Jakarta: P3M, 1987.
[1]Syaiful Mazani, Islam Rasional; Gagasan dan Pemnikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 129.
[2]Zainun Kamal, “Kekuatan dan kelemahan Faham Asy’ariy Sebagai Doktrin Aqidah” dalam Budhy Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1994), h. 131.
[3]Ahmad Amin, Duha al-Islam, Jilid Iv (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 65.
[4]Uraian lebih lanjut lihat, W. Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy, diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul “Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam” (Cet. I; Jakarta: P3M, 1987), h. 99-102.
[5]Zainun Kamal, op.cit., h. 134.
[6] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Jaya Murni, 1967), h. 101.
[7]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Perdaban (Cet. I; Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1992), h. 270.
[8] W. Montgomery Watt, op.cit., h. 88.
[10]Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah; Manhaj wa al-Tatbiq, ditrjemahkan oleh Yudhian Wahyudi dengan judul “Aliran dan Teori Filsafat Islam” (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 65.00
[11] A. Hanafi, op.cit., h. 119.
[12] Term Ahl Sunnah Waljamaah kadang juga dinisbahkan kepada tokoh al-Asy’ariy dan Maturudiy, dua tokoh aliran ini yang telah menentang faham rasional Mu’tazilah. Uraian lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah analiss perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1996), h. 64.
[13] H. Said Agil Siradj, Ahlusunnah Waljamaah dalam Lintasan Sejarah (Cet. I; Jogyakarta: LKPSM, 1997), h. 18—19.
[15]Nurcholish Madjid, op. cit., h. 210.
[16] W. Motgomery Watt, op. cit., h. 142.
[18] Ibid., h. 74-75.
[19] Ibid., h. 71-72.
[20] Ibid.
[21] W. Montgomery Watt, op. cit., 152.
[22] Ibid., h. 153.
[23] A. Hanafi, op. cit., h. 120, lihat juga Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam , Jilid I (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 189.
[24]Nurcholish Madjid, Hazanah Intelektual (Jakarta: Bulan Bintang,1984), h. 29.
[25]Zainul Kamal, op. cit., h. 142.
[26] Ibid.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “PAHAM AL-ASY’ARIYAH”
Posting Komentar