Jumat, 26 Februari 2016

PAHAM MU’TAZILAH



I. PENDAHULUAN

Rasulullah saw pernah memprediksikan dalam sebuah hadisnya menyata-kan bahwa “umat Islam akan terpecah hingga tujuh puluh lebih sekte yang selamat hanya satu yakni yang menjalankan ajaran Nabi dan sahabat-sahabatnya”.[1] Nabi saw. bukanlah seorang futurolog (peramal masa depan). Namun, apa yang ia prediksikan telah menjadi sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri adanya.
Berawal dari perkembangan munculnya umat Islam hingga masa khalifah Ali – yang mendapat banyak tantangan – menyebabkan sekte-sekte lahir maupun berangkat dari pesan hadis tentang sekte-sekte, secara hipotesis sekte-sekte dalam Islam bisa dikatakan benar adanya. Hadis tersebut merupakan fakta konseptual mengenai sekte-sekte.[2]
1
Selain fakta konseptual yang disimpulkan dari ajaran hadis, juga – ada sekte fakta operasional yang berangkat dari perspektif historis untuk menyatakan adanya sekte-sekte dalam Islam. Menurut pandangan sejarah, dasar awal yang menyebabkan munculnya golongan Khawarij adalah arbitrase (tahkim).[3] Pengamat Barat W. Montgomery juga mengajukan hipotesa tersebut sebagai gambaran asal mula sekte-sekte Islam.[4] Sejalan dengan pandangan ini adalah apa yang Harun Nasution kemukakan bahwa wacana tentang perbuatan dosa besar yang mulanya dikonsepkan oleh Khawarij menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah.[5]
Namun pada prinsipnya, Fazlur Rahman tidak ingin mengatakan adanya sekte di dalam Islam. Hadis Nabi tentang sejumlah sekte, menurutnya; hanya aliran-aliran hukum dan teologis saja.[6] Menurutnya, sekte adalah di mana saat setelah dogma mulai  diangkat menjadi ajaran negara , mereka tidak toleran dan melakukan penindasan.[7]
Dalam pemahaman penulis, Islam sebagai agama telah terpecah dalam beberapa sekte. Dengan kata lain, ada sekte atau aliran dalam Islam. Hal ini juga dikemukakan oleh kalangan klasik seperti al-Syahrastani[8] dan al-Baghdadi[9] yang berdasarkan fakta konseptual dan fakta operasional sekaligus.
Pada makalah ini, akan mencoba menyoroti salah satu sekte dalam Islam yakni Mu’tazilah. Pembahasan ini meliputi pertanyaan tentang bagaimana sejarah munculnya Mu’tazilah, bagaimana ajarannya, tokoh-tokohnya dan ajaran-ajarannya dari masing-masing tokoh.

II. SEJARAH MUNCULNYA MU’TAZILAH

Diskursus yang banyak dan hangat diperbincangkan pada abad pertama Hijri adalah masalah dosa besar dan pembuat dosa besar. Pertanyaan tentang hal itu banyak diajukan kepada para alim ulama. Hasan al-Bashri (692-728 M) seorang ulama besar di Irak, pada suatu kesempatan mendapat pertanyaan dari salah seorang yang turut mendengar pengajiannya. Sebelum sempat menjawab, seorang yang bernama Washil bin Atha’ (699-748) menyatakan: “pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir”. Kemudian ia meninggalkan majelis gurunya dan membentuk majelis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya.[10]
Aksi inilah yang menimbulkan lahirnya Mu’tazilah yang pada awalnya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dilontarkan oleh golongan Khawarij dan Murji’ah. Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata i’tazala yang berari “mengasingkan diri”. Menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Bashri setelah melihat Washil memisahkan diri Hasan al-Bashri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut i’tazala anna (ia mengsasingkan diri dari kami). Orang-orang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazilah. “Mengasingkan diri” bisa berarti mengasingkan diri dari majelis pengajian Hasan al-Bashri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan Khawarij.[11]
Menurut al-Thabari[12] dan al-Fuda,[13] kata i’tazala dan Mu’tazilah sudah dipakai pada waktu pertikaian politik yang terjadi di zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Mereka yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan.
Menurut al-Mas’udi – sebagaimana dikutip Nasution -, golongan ini disebut kaum Mu’tazilah karena mereka mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara ke dua posisi itu.[14] Menurut versi ini, golongan ini disebut kaum Mu’tazilah, karena membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.[15]
Dalam buku The Concise Encyelopedia of Islam dikatakan bahwa aliran ini  muncul akibat kontroversi setelah perang saudara antara pihak Ali bin Abu Thalib dan pihak Zubayr dan Thalhah. Juga sebagai reaksi terhadap keabsolutan pandangan hitam di atas  putih gerakan kharijiyyah.[16].
Asumsi-asumsi di atas, memberikan indikasi bahwa telah terjadi polemik di kalangan ilmuan tentang sejarah timbulnya aliran Mu’tazilah. Ada kalangan yang megaitkan dengan peristiwa pertikaian politik dan ada yang mengaitkan dengan peristiwa Washil bin Atha’.
Olehnya itu, dalam pandangan penulis, Mu’tazilah harus dilihat dari dua sudut tinjauan, yaitu Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik dan Mu’tazilah sebagai paham teologi. Atau dalam bahasa Ahmad Amin, ada Mu’tazilah awal dan ada Mu’tazilah sebagai Washil. Mu’tazilah awal  menjauhi pertikaian politik antara Ali dengan kelompok Zubayr, Thalhah, Aisyah dan pertikaian Ali dengan Muawiyah. Sedangkan Mu’tazilah Washil menjauhi pendapat yang bertikai di zamannya antara Khawarij dan Murji’ah.[17] Dari asumsi ini, maka penulis dapat mengatakan bahwa semua pandangan yang berbicara tentang sejarah timbulnya aliran Mu’tazilah adalah benar.
Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas tentang Mu’tazilah sebagai paham teologi yang muncul dari peristiwa pertentangan Hasan al-Bahsri dengan washil bin Atha tentang pelaku dosa besar.
Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan nama Mutazilah kepada Washil dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang berpendapat golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka. Namun, jika melirik ucapan-ucapan kaum Mutazilah itu sendiri, maka ada informasi-informasi yang dapat memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka, atau mereka setuju dengan nama itu.[18]
Selain itu, golongan ini juga dikenal dengan nama yang lain. Misalnya menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl al-tauhid wa al-Adl yakni golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ke-Esa-an murni.[19]

III. AJARAN-AJARAN MU’TAZILAH

Kalangan Mu’tazilah mendasarkan aliran mereka ini pada lima prinsip yakni tauhid (keesaan Tuhan), adl (keadilan, al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah bayn manzila tayn (satu posisi di antara dua posisi) dan Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy an Munkar (menegakkan kebajikan dan menghentikan kemungkaran).
Berdasarkan prinsip tauhid mereka mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan adalah satu dan tidak dapat dilepaskan dari esensi (zat) Tuhan. Sifat-sifat yang tersebut dalam Alquran, khususnya yang bersesuaian  dengan nama-nama Tuhan, mestilah diyakini berada di dalam realitas yang absolut. Sesuatu yang absolut seharusnya tidak terbatas dan tidak terbagi-bagi yakni tunggal.[20]
Berdasarkan prinsip al-adl, maka mereka mempertegas statmennya bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, yang merupakan keniscayaan dari keadilan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan mestilah berbuat sesuatu yang terbaik (shalah atau ashlah) terhadap dunia yang diciptakannya.[21] Segala perbuatan dan kehendak Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Inilah titik tolak pemikiran rasional mereka tentang pendapat-pendapat keagamaan.[22]
Dengan prinsip ketiga, yakni al-wa’ad wa al-wa’id yang dimaksudkan adalah syurga dan neraka. Menurut keyakinan mereka bahwa jika seseorang masuk neraka , semestinya ia tidak akan menuju ke sana dengan  alasan sifat Rahman Tuhan atau adanya intervensi Tuhan.[23] Dengan kata lain, Tuhan tidak adil kalau ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat.[24]
Prinsip keempat, yakni sebuah posisi di antara dua posisi. Prinsip ini pada satu sisi merupakan metode filsafat mereka, namun pada sisi lain, prinsip ini merupakan wawasan politik dalam kontroversi kesejarahan.[25] Prinsip ini merupakan posisi menengah bagi pembuat dosa besar, tidak posisi mukmin dan tidak kafir. Bukan posisi syurga, bukan pula posisi neraka.[26]
Prinsip kelima, sebuah prinsip yang ditunjukkan untuk pembentukan corak masyarakat Islami.[27] Hal ini tidak berbeda dengan golongan yang lain. Perbedaannya antara golongan tersebut pada bentuk pelaksanannya. Menurut Mu’tazilah, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan.[28]
Menurut Harun Nasution, uraian di atas mencerminkan bentuk rasionalisme, tetapi bukan rasionalisme yang menentang dan menolak agama serta tidak percaya kepada kebenaran dan keabsahan wahyu, malahan rasionalisme yang tunduk dan menyesuaikan diri dengan kebenaran wahyu. [29]
Namun dalam pandangan dari uraian di atas juga tercermin bentuk ketidak-rasionalan kaum Mu’tazilah, khususnya pada prinsip kelima.
Menurut al-Khayyat – sebagaimana dikutip Harun Nasution – seseorang belum berhak disebut sebagai penganut Mu’tazilah sebelum benar-benar menerima secara keseluruhan ushul al-khamsah yakni tauhid, keadilan, janji baik dan ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar ma’ruf nahi munkar.[30]

II. TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH DAN AJARANNYA

Tokoh utama Mu’tazilah atau pendiri Mu’tazilah ada dua orang yakni Washil bin Atha dan Amru bin Ubaid. Dari dua orang tokoh ini, muncullah sederetan ulama dan tokoh yang meneruskan
dan menyempurnakan karya kedua tokoh ini; mereka antara lain adalah :
Angkatan I  : Usman al-Thawil, Hafash bin Salim, Hasan bin Zaunu, Khalid bin Shafwan, dan Ibrahim bin Yahya al-Madani.
Angkatan II    : Abu  al-Huzail  al-Allaf,    Abu   Bakar   al-Ashami   dan  Muammar
bin Ibad.
Angkatan III   : Al-Nazhzham,   Abu   Ali   al-Awnani,  Abu   Ya’kub  al-Syahham,
 Hisyam al-Fuwathi, Bisyri bin Mu’tamar.
Angkatan IV    : al-Jahizh, Ibad bin Sulayman, dan Abu Ali al-Jubai.[31]
Pada bagian ini, penulis hanya akan membahas beberapa tokoh yang diduga berpengaruh dan paling menonjol di kalangan Mu’tazilah. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha, Abu Huzail al-Allaf dan Nazhzham.
1. Washil bin Atha (81-131 H/699-748 M)
Ia adalah pendiri dan pemuka pertama aliran Mu,tazilah. Dalam bahasa al-Mas’udi sebagaimana dikutip Harun Nasution – ia adalah Syaikh al-Mu’tazilah waqadimuha yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir di tahun 81 H. di Madinah dan meninggal tahun 131 H.[32]
Ajaran-ajaran yang dibawanya adalah paham al-manzila-bayn al-manzilatayn (posisi di antara dua posisi bagi pembuat dosa besar), paham Qadariyyah dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Paham al-Manzilah bayn al-Manziltayn dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini orang yang berdosa besar bukan kafir bukan pula mukmin, tetapi fasiq yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Menurut Washil, kata mu’min merupakan sifat baik dan pujian yang tidak dapat diberikan kepada fasiq dengan dosa besarnya. Bukan pula kafir, karena mereka masih mengucapkan syahadat dan perbuatan-perbuatan baik. Orang seperti ini akan kekal di dalam neraka, jika dia meninggal dunia tanpa tobat dan siksaan yang diterima tidak sama dengan siksaan orang kafir.[33]
Ajaran yang kedua adalah paham qadariyyah. Atribut Tuhan yang dijunjung tinggi kaum Mu’tazilah ialah ke Maha adilan-Nya. Menurut Washil, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Tuhan tidak dapat berbuat jahat dan zalim. Paham kemahaadilan Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang melakukan perbuatan. Artinya, kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan haruslah kehendak dan daya manusia itu sendiri, hal ini bertujuan untuk  mempertahankan kemahaadilan Tuhan.[34]
Ajaran yang ketiga adalah peniadaan sifat-sifat Tuhan. Satu atribut lainnya yang dipertahankan kaum Mu’tazilah adalah kemahaesaan Tuhan. Mereka menolak pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik dan poleteisme. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat maka dalam diri Tuhan terdapat unsur-unsur yang banyak  yaitu unsur-unsur disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat kepada zat. Olehnya itu, untuk mengatasi paham syirik, Washil menyatakan Tuhan tidak mempunyai sifat, bagi mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan tetapi melalui zat-Nya.[35]
2. Abu al-Huzail al-Allaf (752 – 846 M)
Abu al-Huzhail merupakan pemimpin Mu’tazilah yang banyak ber-hubungan dengan filsafat Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Ajaran-ajaran Abu al-Huzail merupakan kelanjutan dari ajaran Washil bin Atha tentang peniadaan sifat Tuhan. Dan kemampuan akal manusia mengetahui masalah-masalah ke-agamaan.[36]
Pertama, Tuhan adalah Maha Sempurna. Olehnya itu, Tuhan itu tidak bisa tidak berbuat baik. Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang baik bagi manusia. Asumsi ini melahirkan paham al-Shalih wa al-Ashlah. Menurut al-Huzail, betul Tuhan mengetahui tetapi bukan dengan sifat, malahan mengetahui dengan pengetahuannya. Dan pengetahuannya  adalah zat-Nya.[37]
Kedua, menurut al-Huzail, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama yaitu Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
a.         mengetahui adanya Tuhan
b.        mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
c.         mengetahui apa yang baik dan buruk
d.        mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannya menjauhi perbuatan jahat.[38]
Ajaran kedua ini jelas Abu al-Huzhail terpengaruh oleh filsafat Yunani yang mengagungkan kekuatan akal.
3. al-Nazzam
Nama lengkapnya adalah Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazzam. Ia lahir di Basrah tahun 185 H. dan meninggal dunia dalam usia muda di tahun 221 H. ia mempunyai kecerdasan yang lebih dari gurunya. Abu Huzail. Ia juga mempunyai hubungan dengan Filsafat Yunani.[39]
Ajaran-ajarannya meliputi keadilan Tuhan, tentang kemu’jizatan Alquran dan akal. Mengenai keadilan Tuhan, ia berbeda pendapat dengan gurunya Abu al-Huzail. Menurut al-Huzail, Tuhan berkuasa untuk bersikap zalim, tapi musathil Tuhan bersikap zalim, karena berdampak kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan. Sedangkan al-Nazzam berpendapat, bukan hanya mustahil Tuhan bersikap zalim, bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak zalim. Alasan yang dimajukan al-Nazzam ialah bahwa kezaliman hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat serta tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Sifat-sifat itu adalah sifat bagi yang tidak kekal. Sedangkan Tuhan Maha suci dari sifat-sifat itu.[40]
Maka dari itu, al-Nazzam berpendapat bahwa Tuhan wajib untuk berbuat yang baik saja bagi manusia. Dengan kata lain, tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat  jahat.[41]
Mengenai kemu’jizatan Alquran, ia berpendapat bahwa kebenaran isi Alquran lah yang merupakan kemu’jizatannya, bukan gaya dan bahasa Alquran. Dengan kata lain, manusia dapat membuat karangan seperti Alquran sekiranya Tuhan tidak menyatakan bahwa manusia tidak ada yang sanggup membuatnya.[42]
Kemudian ia juga berpendapat seperti gurunya Abu al-Huzail, bahwa manusia dapat mengenal Tuhan tanpa perantara wahyu, tetapi melalui akal. Demikian pula dengan persoalan baik dan buruk.[43]
Selain ketiga tokoh yang disebutkan di atas, masih ada tokoh Mu’tazilah yang lain memiliki pemikiran yang berbeda. Misalnya, Muammar ibn Abbad. Ia hidup semasa dengan Abu al-Huzail dan al-Nazzam. Menurutnya, Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi itu sendiri.[44] Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan Mu’tazilah terdapat paham naturalisme atau kepercayaan pada hukum alam.[45]
Pandangan seperti ini, juga terdapat pada tulisan ‘Amr bin Bahar Abu Usman al-Jahiz (w. 265 H) satu pemuka lain dari Mu’tazilah. Menurutnya, tiap-tiap benda materi mempunyai naturnya masing-masing. Olehnya itu ia mengatakan bahwa manusia sebenarnya tidak bebas selain dalam menentukan kemauan dan kehendaknya, karena menurutnya; perbuatan-perbuatan jasmani manusia muncul sesuai dengan kehendak natur.[46]
Tokoh Mu’tazilah lain yang sama kemasyhurannya dengan Washil adalah Abu ‘Ali Muhammad Ibn Abd. al-Wahhab al-Jubbaiy (w. 295 H) dan anaknya Abu Hasyim Abd. al-salam (w. 321 H). Mereka berpendapat bahwa yang disebut sabda Tuhan atau kalam tersusun dari huruf dan suara. Tuhan disebut mutakallim dalam arti menciptakan kalam.[47] Mereka juga berpendapat di akhirat nanti, Tuhan tidak tidak dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya.[48] Dalam diri manusia telah ada kekuatan untuk berbuat sebelum manusia melakukan perbuatan. Daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat.[49] Menurutnya, manusia wajib mengetahui kewajiban-kewajiban yang dipaksakan akal seperti mengetahui Tuhan serta bersyukur kepada-Nya dan mengetahui bahwa orang yang patuh pada Tuhan akan mendapat upah dan orang yang melawan Tuhan akan memperoleh hukuman. Mengenai besarnya upah dan hukuman itu hanya diketahui manusia melalui wahyu.[50]
Tentang nafy al-sifat Tuhan, al-Jubbai berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensinya dan berkuasa dan hidup melalui esensinya. Olehnya itu, untuk mengetahui Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui dan tidak pada keadaan mengetahui.[51] Sedangkan anaknya Abu Hasyim, Tuhan mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hal (state).[52]

V. KRITIK TERHADAP MU’TAZILAH

Menurut catatan sejaran, tokoh yang pertama kali menyatakan kritikan terhadap konsep teologi Mu’tazilah yang rasionalisme adalah al-Asy’ari (w.330 H/924 M). Ia mengkritik kerasionalan Mu’tazilah.[53] Mereka mendasarkan pemikirannya pada rasio yang biasanya menangkap riil saja, kemudian menempatkan rasio lebih dominan.[54] Namun kerasionalan pemikiran Mu’tazilah mulai dipertanyakan, sebab orisinilitasnya belum didapatkan dari sumber-sumber otentiknya.[55]
Penulis juga masih meragukan kerasionalan Mu’tazilah. Sebab dalam sejarah, telah terjadi “kebrutalan” Mu’tazilah yang tidak rasional, terutama dalam kasus al-mihnah yang menyangkut dengan persoalan Alquran qadim atau makhluk. Dalam konteks ini, Mu’tazilah sama sekali tidak rasional tetapi melakukan tangan besi. Hal ini membuat langkah awal “ketidakberesan” berfikir dalam mengeluarkan pen-dapat menyangkut pemikiran Islam.[56]
Kritik kedua pada Mu‘tazilah adalah pada klaimnya sebagai penemu kebenaran tunggal yang harus diterima semua pihak. Kritik ini mengena semua aliran teologi yang tumbuh pada masa-masa itu. Mu’tazilah mengaku menemukan kebenaran tunggal dan mutlak itu melalui logika akal.[57]
Olehnya itu, dalam sejarah pemikiran agama, salah satu ciri yang menonjol adalah kesembronoan-nya yang benar-benar dalam menuduh orang lain sebagai kafir, syirik, murtad dan sejenisnya, akibat pendapat yang berbeda.[58]
Kritik ketiga pada Mu’tazilah, karena Mu’tazilah pada dasarnya lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis yang berantai metafisik. Akibatnya, isu-isu yang digelutinya tak punya sentuhan yang bermakna bagi umat. Kritik ini juga mengena pada semua aliran teologi yang ada. Meskipun Mu’tatzilah mempunyai isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu yakni tentang “keadilan”. Namun keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan yang bersifat eskatologis yang berkaitan dengan “peranan” Tuhan di hari kemudian.[59]

VI. PENUTUP

Berdasarkan pemaparan yang terdahulu, maka disimpulkan :
1.        Mu’tazilah harus dilihat dalam dua perspektif, yakni Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik dan Mu’tazilah sebagai paham teologi.
2.        Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik muncul ketika pertikaian politik antara Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Sedangkan Mu’tazilah sebagai paham teologi dimunculkan oleh Washil bin Atha’ yang berangkat dari pertanyaan tentang pelaku dosa besar.
3.        Ajaran pokok Mu’tazilah adalah al-tauhid, al-adl, al-wa’d wa al-waid, al-Manzilah bayn al-manzilatayn dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy bi al-mungkar.
4.        Selain Washil bin Atha’ tokoh Mu’tazilah yang lain adalah Abu Huzhail al-Allaf, al-Nazzam, Muhammar ibn Abbad, al-Jubbai dan lain sebagainya.

KEPUSTAKAAN

Abu Zahrah, Imam Muhammad. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Cet.I; Jakarta: Logos, 1996.
Amin,  Ahmad. Fajr al-Islam. Cet. XI; Dar al-Kutub, 1975.
Al-Bagdadiy, Ibn Thahir bin Muhammad. Al-farq Bayn al-Firâq Kairo: Maktabah Muhammad Ali Sabih wa Awladuh, t.th.
Dahlan, Abdul Azis. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Cet.I; Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
Glosse, Cyrill. The Concise Ensyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi (ed) dengan judul, Ensiklopedi Islam Ringkas. Cet.II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999.
Mas’udi, Masdar F. Telaah Kritis Atas Teologi Muktazilah dalam Budhy Munawar Rahman (ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Cet.III; Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasr, Sayyed Hussein. A Young Muslim’s Guide to The Modern World, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan Kaum Muda Muslim. Cet.II; Bandung: Mizan, 1995.
Nasution,  Harun. Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996.
             . Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Per-bandingan. Cet.V; Jakarta: UI. Press, 1986.
Nasution, Muslim. Teologi Islam dan Intelektual Muslim dalam “Mimbar Agama” No. 38 th. XV. Jakarta: IAIN, 1999/2000.
Rahman, Fazlur. Islam. Chichago dan London: University of Chicago Press, 1979.
Al-Syahrastaniy,  Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975.
Syazali, Muanawir. Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V. Jakarta: UI. Press, 1993.
Al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Mulk, juz IV. Cet.I; Bairut: Dar al-Fikr, 1987.
             . Al-tarikh al-Tabary, juz IV.
Al-Turmuziy, Abu Isa Muhammad Isa bin Sawrah. Al-Jami al-Shahih wa  Huwa Sunan al-Turmuziy, juz V. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.
Watt, M. Montrogomerry. Islamic Theologi and Philosofhy. Endirburg: Endirburg University Press, 1979.



[1]Lihat Abu Isa Muhammad Isa bin Sawrah al-Turmuziy, Al-Jami al-Shahih wa  Huwa Sunan al-Turmuziy, juz V (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), h. 25.
[2]Lihat ibid.
[3]Inti arbitrase adalah persetujuan dari khalifah Ali setelah memperoleh kemenangan terhadap Muawiyah dalam peperangan di Siffin tahun 37 H. 648 M. krb Ali menerima Arbitrase, mereka mengingkarinya meski Ali dipihak yang benar. Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, juz IV (Cet.I; Bairut: Dar al-Fikr, 1987), h. 664.
[4]Lihat M. Montrogomerry Watt, Islamic Theologi and Philosofhy (Endirburg: Endirburg University Press, 1979), h. 4-8.
[5]Lihat Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI. Press, 1986), h. 6-7.
[6]Lihat Fazlur Rahman, Islam (Chichago dan London: University of Chicago Press, 1979), h. 167.
[7]Lihat ibid.
[8]Lihat Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastaniy, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975), juz I;
[9]Lihat Ibn Thahir bin Muhammad  al-Bagdadiy, Al-farq Bayn al-Firâq (Kairo: Maktabah Muhammad Ali Sabih wa Awladuh, t.th.), h. 7
[10]Lihat Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 127.
[11]Lihat ibid., h. 128. Selanjutnya bandingkan dengan Sayyed Hussein Nasr, A Young Muslim’s Guide to The Modern World, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan Kaum Muda Muslim (Cet.II; Bandung: Mizan, 1995), h. 79.
[12]Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Al-Tarikh al-Tabary, juz IV (Bairut: Dâr al-Fikr, 1987), h. 442.
[13]Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Cet. XI; Dar al-Kutub, 1975), h. 290
[14]Lihat Harun Nasution, Teologi, h. 39.
[15]Lihat ibid.
[16]Lihat Cyrill Glosse, The Concise Ensyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi (ed) dengan judul, Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet.II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 290.
[17]Lihat Ahmad Amin op. cit., h. 292. Pernyataan ini juga dikemukakan oleh Muanawir Syazali, Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V (Jakarta: UI. Press, 1993), h. 218.
[18]Lihat Harun Nasution, Teologi, h. 42.
[19]Lihat ibid.
[20]Lihat Cyrill Glesse, op. cit., h. 291. Bandingkan harun Nasution, Islam, h. 135. Bandingkan pula dengan Imam Muhammad Abu Zahrah, tarikh al-Mazahib al-Islamiyyag, diterjemahkan oleh Abd. rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Cet.I; Jakarta: Logos, 1996), h. 152.
[21]Lihat ibid.
[22]Lihat Harun Nasution, Islam, loc. cit.  
[23]Lihat Cyrill Glesse, loc. cit.  
[24]Lihat Harun Nasutino, loc. cit.  
[25]Lihat Cyrill Glesse, op. cit., h. 292. Lihat juga Abu Zahrah, op. cit., h. 153-154
[26]Lihat Harun Nasution, Islam, loc. cit.  
[27]Lihat Cryill Glessse dan Abu Zahrah, loc. cit.  
[28]Lihat Harun Nasution, Teologi, h. 56.
[29]Lihat ibid., Islam, h. 136-137.
[30]Lihat ibid., Teologi, 52. Lihat pula Muslim Nasution, TeologiIslam dan Intelektual Muslim dalam “Mimbar Agama” No. 38 th. Xv (Jakarta: IAIN, 1999/2000). H. 5.
[31]Lihat Abdul Azis Dahlan, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran dalam Islam (Cet.I; Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 75.
[32]Lihat Harun Nasution, teologi, h. 43
[33]Lihat ibid.
[34]Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 130, bandingkan dengan Teologi, h. ibid.
[35]Lihat ibid.
[36]Lihat ibid. h. 131.
[37]Lihat ibid., Islam, 132.
[38]Lihat Harun Nasution, ibid. Bandingkan dengan teologi, h. 45-46.
[39]Lihat ibid.
[40]Lihat ibid., h. 47-48.
[41]Lihat al-Bagdadi, op. cit., h. 133.
[42]Lihat ibid., h. 143.
[43]Lihat al-Syahrastani, op. cit., juz I, h. 58
[44]Lihat ibid., h. 66.
[45]Lihat Harun Nasution, Islam, h.  137.
[46]Lihat Al-Syahrastani, op. cit., h. 75.
[47]Lihat ibid., h. 81-82.
[48]Lihat ibid., h.82.
[49]Lihat ibid.
[50]Lihat ibid.
[51]ihat ibid.
[52]Lihat ibid.
[53]Lihat Masdar F. Mas’udi, Telaah Kritis Atas Teologi Muktazilah dalam Budhy Munawar Rahman (ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Cet.III; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 128.
[54]Lihat Muslim Nasution, op. cit., h. 6
[55]Lihat ibid.
[56]Lihat F. Mas’udi, op. cit., h. 129.
[57]Lihat ibid.
[58]Lihat ibid.
[59]Lihat ibid.

Tags:

0 Responses to “PAHAM MU’TAZILAH ”

Posting Komentar

Subscribe

Donec sed odio dui. Duis mollis, est non commodo luctus, nisi erat porttitor ligula, eget lacinia odio. Duis mollis

© 2013 Bagi Duit. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks