Senin, 18 Januari 2016

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI

 
 A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

            Tokoh muslim pertama yang dikenal di bidang pemikiran filsafat adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Sabah al-Kindi (796- 873 M). Selain filusuf, lelaki berdarah Arab ini dikenal juga sebagai seorang tabib dan astronom terkemuka. Ia merupakan salah satu tokoh pelopor dalam penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani maupun India kedalam bahasa Arab. Al-Kindi telah meletakkan dasar-dasar Filsafat Islam.
            Kemudian datanglah pada zaman berikutnya Abu Nashr al-Farabi. Ia memperkokoh dan memantapkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh al-Kindi. Orang Arab menamakan al-Farabi guru kedua ( المعلم الثاني ), karena mereka memandang Aristoteles sebagai guru pertama (  المعلم الاول). Dalam tulisan-tulisannya, kerangka pemikirannya cenderung berusaha memadukan corak filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan pemikiran keislaman mazhab Syiah Imamiyah. Ia percaya, seperti halnya al-Razi, bahwa akal merupakan akses utama untuk mencapai kebenaran.[1]
metafisik-nya Aristoteles.
[2]
            Pemikiran-pemikiran al-Fārābi tentang emanasi ( الفيض ), filsafat jiwa ( النفس ), filsafat kenabian, dan teori politiknya (  المدينة الفاضلة) adalah merupakan sumbangan pemikiran beliau terhadap pemikiran filsafat di dunia islam. Terlepas dari bantahan-bantahan yang diutarakan oleh Al-Ghazali terhadap pemikiran-pemikiran al-Fārābi, namun yang jelas adalah al-Fārābi adalah   seorang pemikir muslim yang banyak menyumbangkan buah pikiran yang cemerlang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

2. Rumusan Masalah
            Berangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah :
1.      Bagaimana riwayat hidup al-Farabi ?
2.      Bagaimana  pemikiran al-Fārābi tentang emanasi ?
3.      Bagaimana  filsafat  jiwa menurut  al-Farabi?
4.      Bagaimana filsafat kenabian yang dikemukakan al-Farabi?
5.      Bagaimana teori politiknya al-Farabi y "al-Madinah al-Fhadilah" itu?

B. PEMBAHASAN
1. Riwayat Hidup al-Fārābi ( 870-950 M )
            Al-Fārābi, nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, propinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer dikalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk keluarga bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas.
            Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut Ibn Abu Usaibi`ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat menjadi hakim (qâdli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-imu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalâm) dan ushûl al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu tersebut.[3]    
            Sekitar tahun 922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad untuk lebih mendalami filsafat. Di sini ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti Ibn al-Furat, `Ali ibn `Isa dan Ibn Muqlah.
            Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormati oleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasehat negara.[4]
            Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil (al-bâb al-shaghîr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi, seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkaran Saif al-Daulah”.[5]
2. Pemikiran al-Farabi Tentang Emanasi ( الفيض )
            Dalam penciptaan alam menurut al-Farabi, Tuhan tidak mencipta alam, akan tetapi ia sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Dengan pemikiran ini, al-Farabi mencoba menjelaskan "bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu"          ( كيفية خروج الكثرة عن الواحد البسيط ). Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berobah, jauh dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? dengan alasan inilah  al-Farabi memaksakan pemikirannya dengan menyatakan bahwa alam ini muncul dari Allah dengan jalan emanasi atau pemancaran                           (ان العالم قد نشاْ عن الله عن طريق الفيض ( . Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain, Tuhan merupakan wujud pertama  (الوجود الاول) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجود الثاني)   yang juga mempunyai substansi.                                                                                                                                     Dalam teori emanasi ini  Tuhan dilukiskan   sebagai yang  sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya,  definisi hanya akan menisbatkan batasan  dan  susunan kepada Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya.  Tuhan  itu adalah substansi yang azali,  akal murni  yang  berfikir  dan  sekaligus difikirkan.  Ia    adalah  aql, aqil dan ma’qul sekaligus
Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.      Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya, yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan Akal X menghasilkan  Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok : air, udara, api dan tanah.[6]
            Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui pada zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Begitulah alam  semesta tercipta  dalam filsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak itu, tetapi melalui Akal-Akal dalam rangkaian emanasi. Dengan demikian dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak dan Tuhan juga tidak langsung berhubungan dengan yang banyak. Inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi dan filsuf-filsuf muslim berikutnya yang menganut faham emanasi. Implikasi logis dari faham emanasi ini adalah pendapat bahwa alam diciptakan bukan dari tiada atau nihil (creatio ex nihilo) sebagaimana sebelumnya masih diterima oleh al-Kindi, tetapi dari sesuatu materi asal yang sudah ada sebelumnya yaitu api, udara, air dan tanah. Materi asal itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh pemikiran Tuhan.
            Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan befikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim.
            Dengan dasar inilah  menurut al-Farabi, bahwa alam materi ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan, tapi alam ini bisa ada karena proses emanasi atau pemancaran. Hal tersebut menurutnya karena beberapa alasan: (1). Proses penciptaan itu mengharuskan perubahan pada zat pencipta, dan hal itu mustahil pada Allah (لان الخلق يقتضي التغيير في ذات الخالق ), (2). Proses penciptaan akan mengharuskan keterkaitan yang abadi antara yang mencipta dan yang diciptakan            (ان عملية الخلق تقتضي الاتصال الدائم بين الخالق والمخلوق ), sementara itu tidak mungkin terjadi, dan (3). Allah itu Maha Esa dari segala segi, makanya tidak akan muncul sesuatu dariNya kecuali satu pula (لان الله واحد من جميع الجهات ولا يصدر عنه الا واحد). Dengan alasan-alasan inilah al-Farabi telah memaksakan teorinya bahwa alam ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan akan tetapi itu merupakan "proses munculnya yang banyak dari Yang Satu dengan tetap terpeliharanya wujud yang Satu ini dengan ke-Esaan-Nya dan Kesempurnaan-Nya"                                                                    ( صدور الكثرة عن الواحد مع احتفاظ هذا الواحد بوحدته وكماله ).[7]
3. Filsafat Jiwa  al-Fārābi
            Pada umumnya para filosof Muslim mengikuti aliran Aristoteles dalam hal jiwa manusia, yaitu berupa daya makan, daya indra, dan daya pikir. Al-Farabi membagi jiwa menjadi tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi; iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini; iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
            Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (القوة الغاذية) sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (القوة الحاسة), sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi (القوة المتخيلة) sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera. Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir (القوة الناطقة) yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. Kelima, daya rasa (القوة التروعية), yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.[8]
            Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (القوة الحاسة), daya imajinasi (القوة المتخيلة) dan daya pikir             (القوة الناطقة), yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan.[9]
            "Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek ( العقل الكلي ) sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding makhluk lain.[10]
4.Filsafat Kenabian al-Fārābi
            Pada masa-masa pertama Islam kaum Muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena karena hal ini mulai dikeruhkan dengan oleh berbagai hal keraguan, setelah golongan-golongan di luar Islam perlahan-lahan dapat memasuki fikiran ummat muslim. Golongan-golongan itu adalah golongan Mazdak, dan Manu dari Iran, golongan Sumniyah dari agama Mrahma, serta orang-orang Yahudi dan Masehi. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik.
            Sehubungan dengan ini, kritikan Ibn ar-Rawandi (Wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar ar-Razi (Wafat 250 H). terhadap kenabian perlu dicatat,  Ibnu ar-Rawandi dan dalam bukunya yang berjudul Az Zamarrudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad SAW pada khususnya, ia banyak memberikan kritikan terhadap ajaran-ajaran Islam dan Ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat keseluruhannya. Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa rasul-rasul itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk. Pada intinya Ibnu ar-Rawandi dalam hal ini berpendapat bahwa keberadaan akal itu sudah cukup.[11]
            Ar-Razi seorang dokter dan tokoh filsafat, juga tidak kurang bahaya, karena ia menulis dua buku, yaitu Makhariq al-Anbiya aw HiIya al-Munatanabbi-in (Mainan nabi-nabi atau tipu daya terhadap orang yang mengaku menjadi Nabi) dan Naqdl al-Adyan aw fi an Nubuwwah (Menentang agama-agama atau menentang kenabian). Menurut Massignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai Dunia Barat sehingga buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang dlancarkan oleh para rasionalis eropa terhadap agama dan kenabian. Pada masa Frederick II Buku kedua, beberapa bagiannya sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim ar-Razi (Wafat tahun 330 H) dalam bukunya A’lam an-Nubuwwah yang dikarang untuk menolak pandangan ar-Razi mengenai teori kenabian. Serangan Abu bakar ar-Razi pada pada garis besarnya tidak banyak berbeda dengan serangan ar-Rawandi, seolah-olah kedua orang tersebut bersumber satu, atau seolah-olah ajaran Hindu dan Manu tersembunyi di belakangnya, dan tidak jauh kemungkinannya kalau keduanya mengetahui kritik orang-orang Yunani terhadap berbagai agama. Bagaimanapun juga, baik karena terpengaruh oleh fikirannya sendiri, namun yang jelas ialah bahwa ia mengakui dirinya sebagai sebagai orang-orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua itu, dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakannya seseorang dengan lainnya.[12]

             Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian
muncullah al Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia
hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil
penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi
filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang
membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam
filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat
hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak Pada waktu membicarakan negeri
utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al
aql al fa’āl
, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
            Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan,
yaitu : jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan), atau dengan perkataan
lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak
semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al fa’āl. melainkan
hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam
gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran
yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan
orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama
yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan
dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan
ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita
merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
            Ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur ataupun jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara
kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak
mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah merupakan
salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya
juga sama Meskipun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah
satunya, maka dapat pula kita menerangkan yang lain. Hubungan antara kedua cara
tersebut dijelaskan oleh al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl Madinah
al-Fadhilah. Kalau imajinasi dapat mengadakan gambaran-gambaran tersebut dengan
bentuk alam rohani. Misalnya orang tidur melihat langit dan orang-orang yag
menempatinya serta meraskan senang terhadap kenikmatan-kenikmatan yang ada di
dalamnya. Di samping itu imajinasi kadang-kadang naik kealam langit dan
berhubungan dengan al aql al fa’āl untuk menerima hal-hal yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa
perorangan, dan dari sini maka terjadilah peramalan.
            Hubungan tersebut bisa terjadi di waktu siang atau
pun di waktu malam, dan dengan adanya hubungan ini maka kita dapat menafsirkan
kenabian, karena. hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan


wahyu. Orang yang melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al aql al fa’ālperistiwa-peristiwa sekarang atau
peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan
salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan, melihatnya pula. Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut           Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada
orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan
oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, kecuali
pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang diketahuinya. 
             Demikianlah teori kenabian kenabian dari al-Farabi
yang dipertalikan dengan soal-soal kemasyarakatan, dan kejiwaan, seperti yang
dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara-u Ahl al-Madinah al.FadhilahMenurut
al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang pantas mengepalai negeri
utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl
yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan tersebut.
Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah hubungan nabi melalui imajinasi
maka hubungan filosof melalui pembahasan dan pemikiran.[13]
5. Teori Politik  al-Fārābi
            Uraian mengenai politik terdapat dalam bukunya yang sangat terkenal dan masyhur dengan judul اراء اهل المدينة الفاضلة, "Ara' Ahl al-Madinah al-Fadilah". Teori politiknya ini sangat erat hubungannya dengan filsafat kenabian yang telah diutarakan oleh al-Farabi sebelumnya. Kota, sebagai badan manusia, mempunyai bahgian-bahagian yang satu dengan yang lain rapat hubungannya dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam sebuah kota, kepada masing-masing anggota masyarakat harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing.
            Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan keadilan. Ia harus telah mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur bumi kita ini. Dan sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul. Kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan peraturan-peraturan yang baik dan berfaedah bagi masyarakat, sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan di dalamnya anggota-anggota dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara, bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia untuk mempunyai akhlak yang baik.
            Al Farabi membagi lima macam negara yakni المدينة الفاضلة/Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama), المدينة الجاهلية/Al-Madinah al-Jahiliyyah (Negara Bodoh), المدينة الفاسقة/Al-Madinah al-Fasiqah (Negara Rusak), المدينة المبدلة/Al-Madinah al-Mubaddilah (Negara Merosot/Berubah) dan المدينة الضلالة/Al-Madinah adh-Dhalalah (Negara Sesat).[14]
            Kemudia lebih lanjut al-Farabi merinci macam-macam negara yang termasuk dalam "negara bodoh", Negara itu yang pertama, bisa berbentuk Al-Madinah adh-Dharuriyyah (negara kebutuhan dasar) yakni warga negaranya bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Kedua, adalah Al-Madinah an-Nadzalah (negara jahat), yaitu warga negaranya bekerja sama untuk meraih kejayaan dan kemakmuran berlebihan dan tak mau membelanjakannya kecuali untuk keperluan jasmani. Dilanjutkan dengan tipe ketigayaitu  negara rendah atau Al-Madinah al-Khassah, dimana warganya hanya memburu kesenangan belaka dengan mementingkan hiburan dan hura-hura. Dan  bentuk keempatadalah Timokratik (negara kehormatan). Dimana, warga Negara ingin selalu mendapat penghormatan, puji, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa lain. “Mereka ingin selalu diistimewakan. Bahkan, status seseorang itu ditentukan oleh kelebihan yang dimilikinya. Dan, Negara pun diatur berdasar tingkatan kelebihan mereka. Negara bodoh kelima yakni Al-Madinah at-Taghalub (negara despotik). Bentuk negara ini, jelas Hafiz sangat buruk karena mereka ingin menguasai orang lain, dan mencegah orang berkuasa atas dirinya. “Oleh karena itu, mereka tak segan menumpahkan darah, memperbudak, dan berlaku kasar dan kejam. Bahkan, yang jadi pemimpin adalah orang yang paling bisa menguasai orang lain, paling kuat atau paling licik, dan  terakhirnegara bodoh versi Al Farabi adalah Al-Madinah al-Jama`iyyah (negara demokratik),  tujuan dari warga negara ini adalah kebebasan dan setiap warganya berhak dengan apa saja yang dikehendaki. “Meski bentuk negara terakhir ini masuk kategori bodoh, namun menurut Al Farabi justru negara ini paling terpuji di atara negara yang bodoh lainnya.[15]
            Negara demokratik atau demokrasi yang selama ini oleh kebanyakan orang dikategorikan sebagai sebaik-sebaiknya bentuk negara ternyata oleh al-Farabi dimasukkan ke dalam barisan "negara bodoh". Ketika sistem demokrasi digembor-gemborkan sebagai suatu sistem dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ternyata oleh sebagian pemikir-pemikir islam justru dipandang sebagai sistem yang sangat bertentangan dengan islam dan tidak layak untuk diterapkan.   Seperti Abul A’la Al Maududi, yang mengatakan bahwa sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi karena di dalam sistem demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan Allah SWT. Begitupun dengan  Abdul Qadim Zallum yang jelas-jelas mengharamkan sistem demokrasi diterapkan di negara-negara muslim.
             Penulis sendiri berpendapat, bahwa tidak ada salahnya kita kembali melirik dan mempertanyakan sistem demokrasi yang selama ini kita agung-agungkan sebagai sistem yang terbaik yang datang dari Barat dan lebih baik dari sistem islam itu sendiri. Bahkan ada diantara kita yang menyamakan antara sistem demokrasi dan sistem islam, dengan alasan bahwa aturan-aturan dalam sistem demokrasi juga terdapat dalam islam dan sebaliknya. Dengan alasan itulah mereka dengan santainya menyamakan islam dengan demokrasi. Walaupun  ada kesamaan dan kemiripan yang terlihat dari sistem islam dan demokrasi,  sepertinya tidak bisa secara serempak kita mengatakan bahwa islam adalah demokrasi ataupun sebaliknya. Akankah kita mengatakan bahwa becak itu seperti bajai  hanya karena ada kemiripin dan kesamaan diantara keduanya, yaitu sama-sama mempunya tiga roda yang bundar dan pengemudinya berada di belakang penumpangnya. Becak tetap becak dan bajai tetap bajai. Islam tetap islam dan demokrasi tetap demokrasi, keduanya berbeda dan berlainan sekalipun ada kemiripan dan sedikit kesamaan.
            Demikianlah beberapa teori pemikiran al-Farabi, sebagai seorang ilmuan muslim yang  banyak memberikan sumbangan pemikiran demi kemajuan ilmu pengetahuan  khususnya bidang filsafat. Ini merupakan bukti bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di dunia islam  pernah mengalami puncaknya yaitu ketika masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, ketika itu banyak sekali pemikir-pemikir muslim yang lahir dan terkenal sampai detik ini,  bahkan buku-buku mereka menjadi rujukan oleh orang-orang yang lahir di zaman sekarang ini. Diantara mereka adalah: al-Kindi, al-Ghazali, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd, Ibn Sina, Ibn Maskawaih, Jabir bin Hayyan, al-Biruni, Ibn Battutah, Az-Zarqali, dan lain-lainnya.
            Akankah para ilmuan-ilmuan muslim bisa  kembali memimpin perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban di zaman modern dan serba instant seperti sekarang ini?, jawabannya jangan ditanyakan pada rumput yang bergoyang ibarat sebuah syair lagu yang biasa kita dengar, tapi sepatutnya dan sepantasnya  pertanyaan itu kita ulang-ulangi untuk menggugah semangat kita yang kian hari semakin  luntur diterpa angin metropolisme dan badai kapitali
KESIMPULAN
            Adapun kesimpulan yang dapat kita tarik dari uraian di atas adalah :
1.      Al-Farabi digelar sebagai guru kedua dalam ilmu filsafat, yang merupakan penerus dari guru pertama yaitu Aristoteles.
2.      Menurut al-Farabi,  proses terjadinya alam ini dengan cara emanasi atau pemancaran dari zat Allah yang Esa dan Sempurna.
3.      Al-Farabi menentang Ar-Razi dan Ar-Rawandi yang keduanya tidak mengakui akan konsep kenabian.
4.      Bagi al-Farabi, potensi intelek yang dimiliki manusia adalah faktor utama yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan.
5.      Negara yang baik adalah negara bahagia, al-Farabi menyebutnya al-Madinah al-Fadhilah, yakni bagaikan tubuh manusia yang utuh dan sehat. Semua organ tubuh berfungsi dan bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamidy, At-Thahir, Al-Falsafah al-'Ammah. Cet I;  Kairo: Dar al-Ilmi, 1999.

Al-Ahwani, Dr. Ahmad Fuad,  Filsafat Islam, (Cet.VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus,             1997.

Bakar, Hasan,  Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, Cet II; Beirut: Dar al-                                Hurriyyah, 1976.

Uways, Abdul Halim, Dirasat Fi al-Falsafah. Cet II; Kairo: Maktabah al-Ihya,      1990.

Qumair, Yuhana, ,  Falâsifah al-`Arab: Al-Fârâbî, Cet  I; Beirut: Dar al- Masyriq,                                     1986.

Wafa, Abdul Wahid, Al-Madînah al-Fâdlilah li al-Fârâbî, Cet II; Kairo: Alam kutub,                                1973.

  Nasution, Dr. Harun,  Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Cet II; Jakarta: Bulan                                    Bintan, 1978.

SH, Drs. Sudarsono,  Filsafat Islam, (Cet II; Jakarta: Rineka Cipta , 1994.

Yunus, Abdul Mun'im, A'lam al-Falsafah al-Islamiyah, Cet I;   Kairo:         Dar al-                         Kutub, 1985.
                    
Hoesin, O.A, Filsafat Islam,  Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1961.

Praja, J.S,  Filsafat dan metodologi ilmu dalam Islam, Jakarta:  Penerbit Teraju, 2002.

Fauzan Mashri Al-Muhammady, Dr,   Al-Janib Al-Falsafi min  Al-Hadharah  Al-  Islamiah, Jakarta: Daar Al-Hakim, 2004.

Ma`ruf, Naji,  Al-Farabi Arabi al-Muwathin wa al-Murabbi, Kairo: Dar al- Fikr,                                         1997.

























           













































































































































































































































Tags:

0 Responses to “PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI”

Posting Komentar

Subscribe

Donec sed odio dui. Duis mollis, est non commodo luctus, nisi erat porttitor ligula, eget lacinia odio. Duis mollis

© 2013 Bagi Duit. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks