Senin, 18 Januari 2016

PAHAM KHAWARIJ

BAB I
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang
Pasca pemerintahan Rasulullah, pemerintahan beralih kepada Khulafa ar-Rasyidin Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali secara berurutan yang memegang tanggung jawab kekhalifahan. Pada masa pemerintahan, antara ‘Usman dan ‘Ali banyak diwarnai
perpecahan dan pemberontakan. ‘Usman yang terbunuh sebagai akibat dari dugaan kuat atas sistem pemerintahan yang dipimpinnya berbau nepotisme, yang ditandai dengan pengangkatan para pejabat dari kerabat dekatnya menyebabkan ‘Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah yang terakhir dari jajaran Khulafa ar-Rasyidin.
Pada saat yang bersamaan sesungguhnya Mu’awiyah memiliki ambisi yang besar untuk menggantikan posisi ‘Usman, tetapi gagal karena ‘Ali telah terlanjur dibaiat. Mu’awiyah yang tidak kehabisan akal secara aktif dan agresif merongrong pemerintahan tersebut dengan alasan penuntutan balas atas kematian ‘Usman.
Kebijaksanaan ‘Ali yang terlalu cepat memecat para gubernur dan para pejabat pemerintah yang diangkat oleh ‘Usman serta pengambil alihan tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan Usman kepada keluarganya, mengakibatkan meletusnya pertempuran dasyat yang dikenal dengan perang Shiffin (37/657), ketika ‘Ali hampir memenangkan peperangan, Mu’awiyah mengusulkan gencatan senjata dan menyelesaikan persoalan-persoalan dengan tahkim[1]
Tahkim antara pihak ‘Ali dan pihak Mu’awiyah dilangsungkan dengan masing-masing pihak mengirimkan utusannya. Pihak ‘Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari, sedangkan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amr bin Ash. perundingan kedua hakim ini dimenangkan oleh Amr bin Ash dengan licik.[2]
Sebagai akibat dari penyelesaian melalui tahkim ini, timbul dua golongan yaitu Syiah dan Khawarij. Khawarij memandang orang-orang yang terlibat dalam tahkim termasuk pelaku dosa besar dan telah menjadi kafir. Sedangkan Syiah tidak bersikap sama dalam menetapkan posisi Ali dan keturunannya, sebagian bersikap ekstrim dan sebagian lain bersikap moderat. Kelompok moderat terbatas hanya pada mengutamakan Ali atas semua sahabat, tidak mengkafirkan seseorang dan tidak mengkultuskan Ali.[3]  Namun dilain pihak ada pula golongan Murji’ah membelanya dengan tetap membelanya dengan tetap menyerahkan persoalannya kepada Allah. Khawarij dan Murji’ah inilah yang akan dijadikan sebagai obyek pembahasan dalam makalah ini.

B. Permasalahan
            Dari deskripsi yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana sejarah munculnya aliran Khawarij dan pokok-pokok ajarannya?
2.    Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah dan pokok-pokok ajarannya?
                                                                    BAB II 
                                                               PEMBAHASAN 
A. Khawarij
1. Sejarah Munculnya Khawarij
Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan ‘Ali. Tetapi ada pula pendapat yang menyatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan pada surah an-Nisa’ ayat 100, yang didalamnya disebutkan “keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya”. Dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.[4]
Dalam Ensiklopedi Islam, terungkap bahwa kharijiyyah jamak Khawarij, berarti “orang-orang yang melepaskan diri”. Sebuah sekte yang muncul sebagai penentang kelompok ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai akibat kebijakan perundingan damai yang berlangsung menjelang berakhirnya perang Shiffin (37/657). Semula Kharijiyyah berpihak kepada ‘Ali, tetapi ketika terjadi kesepakatan bahwasannya masalah suksesi khalifah hendaknya diselesaikan melalui meja perundingan, mereka melepaskan diri dari pihak ‘Ali, karena itulah mereka dikenal sebagai Khawarij (Orang-orang yang melepaskan diri). Kharijiyyah berpendapat bahwa permasalahan yang sedang diperselisihkan tidak dapat diselesaikan melalui perundingan, mereka meneriakkan prinsipnya La hukma illa Allah (Tiada keputusan melainkan hukum Allah, yakni perang).[5]
Kaum Khawarij juga dinamakan Haruriyah, karena mereka pergi berlindung ke suatu kotakecil dekat Kufah yang bernama Harura. Sebagaimana mereka dinamakan Muhakkimah, karena mereka selalu menggunakan semboyan La hukma illa Allah.[6]
2. Konsep Ajaran dan Tokoh Khawarij
Kaum Khawarij yang sebelumnya mengkafirkan Mu’awiyah karena melawan ‘Ali sebagai khalifah yang sah, juga mengkafirkan ‘Ali. Kedua tokoh itu dianggap oleh golongan Khawarij telah melakukan dosa besar. Pelaku dosa besar menurut golongan Khawarij adalah kafir.[7]
Kaum Khawarij adalah kelompok masyarakat Badui yang tekenal dengan kegersangan jiwa dan berhati batu serta berpikiran kaku, sulit dilunakkan dan dijinakkan, tetapi mereka sangat konsekuen dengan penghayatan dan pengamalan agama. Semboyan mereka adalah La hukma illa Allah (tidak ada hukum selain hukum Allah).[8]
Menurut kalangan Kharijiyyah, setiap orang dapat tampil sebagai pimpinan umat jika memenuhi persyaratan moral. Pimpinan Kharijiyyah juga bergelar imam yang ditetapkan berdasarkan pemilihan.[9]Kharijiyyah berpegang teguh pada pandangan bahwa terdapat kewajiban untuk melawan dan memberontak terhadap imam yang berbuat dosa. Bahkan menurut doktrin mereka, perbuatan sejumlah dosa besar melepaskan seseorang dari status mukmin. Dengan berbuat dosa besar secara otomatis menjadi kafir. Tanpa adanya jalan penyelesaian melalui tobat. Menurut mereka, iman yang tidak disertai perbuatan adalah tidak ada gunanya (sia-sia).[10]
Dalam buku Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam, juga dipaparkan bahwa, kelompok Khawarij itu kemudian berkembang menjadi golongan ekstrim dan eksklusif. Sebagai dasar legitimasinya, kaum Khawarij menciptakan doktrin teologisnya berdasarkan ayat-ayat Alquran sebagai pegangan formal yang sesungguhnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai budaya kaum Baduwi.[11]Kaum Khawarij berpendapat bahwa orang-orang yang berbuat dosa itu adalah kafir, dan karena itu tidak bisa disebut kaum mukmin dan harus dikeluarkan dari lingkungan umat.[12]
Aqidah yang dianut oleh golongan Khawarij atau oleh kebanyakan mereka adalah :
1.    Khilafah atau kepemimpinan negara tertinggi bukanlah hak-hak orang tertentu, tetapi harus diadakan pemilihan umum oleh umat Islam. Apabilah khalifah menyimpang dari kebenaran, wajiblah dipecat atau dibunuh. Khalifah boleh dari gologan Quraisy, boleh
dari golongan lain, bahkan lebih baik dari golongan yang lain supaya mudah dipecat. Yang mula-mula diangkat menjadi Amir adalah Abdullah Ibn Wahab ar-Rasibi, sedangkan ia bukan orang Quraisy.
2.    Mereka berpendapat bahwa mengerjakan shalat, berpuasa, berhaji dan ibadah-ibadah yang lain, serta menjauhi segala yang dilarang adalah suatu suku dari iman. Orang yang tidak melaksanakan yang demikian itu dan tidak menjauhi larangan tidak disebut mukmin, hanya dinamakan fasiq.[13]
Harun Nasution dalam Teologi Islam membagi sekte Khawarij ke dalam enam golongan, yaitu : golongan al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-‘Ajaridah, al-Sufriah, dan al-Ibadah.[14]Sementara dalam Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam yang disusun oleh T.M. Hasbi ash-Shiddieqy membagi partai Khawarij menjadi empat kelompok yang terkenal di antara lebih dari 20 mazhab Khawarij, yakni golongan Azariqah, Najdah, Ibadliyah dan Shaffariyah.[15]
Dalam lapangan ketatanegaraan, mereka mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada pada waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota suku bangsa Quraisy saja, bahkan bukan hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asal orang Islam, sekalipun ia hamba sahaya yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih harus terus memegang jabatannya selama ia bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia wajib dijatuhkan atau dibunuh.[16]
Ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan hadis, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik.[17]
Dalam perkembangan selanjutnya, karena aliran ini terlalu ekstrim, maka dengan cepat terpecah ke dalam beberapa sekte-sekte dengan corak yang ekstrim pula.
Di antara tokoh-tokoh golongan khawarij yang terkenal adalah ‘Abdullah bin Wahhab ar-Rasyidi, Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al-Azraq, ‘Abdullah bin Basyir.
Adapun pentolan kaum khawarij kelompok muta’akhhirin di antaranya adalah Al Yaman bin Rabab, Tsa’by, Baihaqi, Abdullah bin Yazid, Muhammad bin Harb, Yahya bin Kamil, Ibadliyah, dan lain-lain.
B. Murji’ah
1. Sejarah Munculnya Murji’ah
Murji’ah adalah sebuah aliran yang muncul di tengah-tengah pertikaian politik (kekhalifahan) antara ‘Ali ibn Abi Talib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Murji’ah tampil dengan mengambil sikap netral dan tidak berpihak kepada satu di antara keduanya, dan tidak pula setuju dengan Khawarij yang mengkafirkan keduanya.[18]
            Murji’ah terambil dari kata الإرجاءyang mempunyai dua makna. Pertama bermakna mengakhirkan atau menunda. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-A’raf (7) : 111 :
قَالُوا أَرْجِه ِِ وَأَخَاه ُُ وَأَرْسِلْ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ
Terjemahnya:
‘Pemuka-pemuka itu menjawab: "Beri tangguhlah dia dan saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan mengumpulkan (ahli-ahli sihir).’
             Sedangkan makna yang kedua adalah memberi pengharapan. Adapun pemakaian kata Murji’ah sebagai paham keislaman yang dipakai adalah makna pertama, karena kaum Murji’ah mengakhirkan perbuatan daripada niat dan keyakinan, serta menundakan/menyerahkan soal dosa besar yang dilakukan oleh orang Islam kepada Tuhan pada hari kiamat.[19]
             Sebenarnya pandangan-pandangan kaum Murji’ah ini telah ada di kalangan sahabat pada masa awal, seperti ketidakberpihakan para sahabat dalam pertikaian politik yang terjadi di akhir masa pemerintahan ‘Usman ibn Affan. Di antara yang mengambil sikap seperti ini adalah Abdullah ibn Umar, Abi Bakrah, Imran ibn al-Husein.[20]
2. Konsep Ajaran dan Tokoh Murji’ah
Munculnya Murji’ah adalah karena perselisihan yang terjadi antara Khawarij dengan Syi’ah yang sudah keterlaluan, Khawarij mengkafirkan ‘Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang terlibat dalam majelis tahkim, begitu juga halnya dengan Syi’ah yang mengkafirkan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman dan para pendukungnya. Syi’ah juga mengkafirkan dan melaknat Mu’awiyah dan orang-orangnya karena kepemimpinannya dianggap telah batal. Masing-masing kelompok juga mengklaim bahwa hanya kelompoknyalah yang benar, sedangkan yang lain salah, sesat dan kafir.[21]
Murji’ah kemudian muncul dengan menerima semua kelompok yang berselisih, tidak mengkafirkan golongan-golongan tersebut. Bahkan sebaliknya menilai semua kelompok tersebut adalah mukmin, sedangkan keberadaan mereka yang sesungguhnya diserahkan kepada Allah kelak.[22]
Ajaran yang paling mendasar bagi Murji’ah adalah bahwa yang dimaksud dengan iman adalah tasdiq (التصديق)atau pembenaran, sedangkan perbuatan (العمل )tidak termasuk sama sekali dalam bagian iman. Oleh karena itu, seluruh orang yang telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya disebut mukmin, walaupun melakukan dosa besar. Murji’ah juga berpendapat bahwa semua golongan dalam Islam adalah mukmin, walaupun salah dalam berijtihad bahkan walaupun lisannya berkata kafir, lahirnya menyembah berhala, intim dengan kehidupan Yahudi atau Nasrani di negara Islam, kemudian mati dalam keadaan seperti itu, maka Allah dapat mengampuni dosa-dosanya atau menyiksanya pada suatu waktu, kemudian memasukkannya ke dalam syurga.[23]
Adapun pandangan politiknya sama dengan pandangan Syi’ah, bahwa penjahat dapat dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dengan tanpa harus mengucilkannya dari masyarakat. Karena melihat apa yang dilakukan oleh Muawiyah dan orang-orangnya sebagai hal yang menyebabkan mereka kafir, maka Murji’ah merupakan golongan pertama mendukung Bani Umayyah atas dasar agama, meskipun mereka mungkin tidak terlalu menyukai Bani Umayyah, mereka mengakui pentingnya ketertiban.[24]
Melihat pertumbuhan pemikiran politik dan teologi Murji’ah, maka ada yang menduga bahwa Murji’ah memang sengaja dibentuk oleh orang-orang Bani Umayyah untuk mengimbangi Khawarij dan Syi’ah.[25]Dengan demikian sikap netral Murji’ah yang demikian sangat menguntungkan bagi pihak Muawiyah.
Dalam golongan Murji’ah moderat terdapat Abu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf. Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan.[26] 
BAB III
PENUTUP 

A. Kesimpulan

Dari analisis yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.     Khawarij dan Murji’ah adalah dua aliran dalam Islam yang lahir dengan latar belakang politik yang kemudian meningkat menjadi gerakan teologi yang amat berpengaruh bagi timbulnya aliran-aliran teologi selanjutnya.
2.     Ajaran pokok Khawarij adalah bahwa khalifah tidak mesti dari kalangan Quraisy, tetapi siapa saja dari umat Islam yang mampu untuk itu. Khawarij melihat bahwa Ali dan Muawiyah keduanya melakukan dosa besar dan menjadi kafir. Sedangkan Murji’ah tetap mendukung kepemimpinan Muawiyah.
3.     Sepanjang sejarah perkembangannya, aliran Khawarij dengan sifatnya yang ekstrim terpecah menjadi beberapa sekte dengan ajarannya yang ekstrim pula. Sebaliknya Murji’ah dan sekte-sektenya tampil sebagai aliran yang moderat dan dapat mentolelir dosa apapun yang dilakukan oleh manusia. Hanya Tuhanlah yang berhak memberikan balasan.
4.     Pengikut Khawarij secara organisasi sudah tidak ditemukan lagi, tetapi praktek ajarannya masih sering muncul, hal ini dapat ditandai dengan masih adanya kelompok/golongan yang bersikap terlalu cepat mengkafirkan. Sedang kelompok Murji’ah sebagai satu aliran teologi telah berhasil menjelaskan mengenai konsep masyarakat yang kini banyak dipakai oleh dunia Islam. Murji’ah banyak memberikan andil dalam menopang keberhasilan kekuasaan Dinasti Umayyah.

B. Saran
            Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis. Kritik dan saran yang konstruktif dari peserta seminar khususnya Bapak dosen, selaku pemandu seminar. Semoga penyajian makalah ini dapat memberikan pemahaman tentang sejarah timbulnya dan pokok ajaran Khawarij dan Mur 
DAFTAR PUSTAKA


Amin, Ahmad. Duha al-Islam Juz III. Cet. VIII, t.d.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 1999.
Hasymy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1979.
Nasution, Harun. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas IndonesiaPress, 1986.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / Kalam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Soetrisno, Loekman et.al. Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam. Jakarta : Menara Mas Offset, 1989.
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Jilid I. Kairo : Mustafa al-Baby al-Halabiy, 1967.
Syihab, Tgk. H.Z.A. Aqidah Ahlus Sunnah. Cet. I; Jakarta; Bumi Aksara, 1998.
Watt, W. Montgomery. Theology and Philosophy, diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: P3M, 1987.
Abu Zahrah, Muhammad. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Logos, 19





[1]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 247.
[2] Ibid.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, ( Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 35.
[4]Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 11
[5]Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 213.
[6]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.168.
[7]Tgk. H.Z.A. Syihab, Aqidah Ahlus Sunnah (Cet. I; Jakarta; Bumi Aksara, 1998), h. 66.
[8]Ibid. h. 67.
[9]Cyril Glasse, op. cit., h.213.
[10]Ibid. h. 214.
[11]Loekman Soetrisno et.al, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Jakarta : Menara Mas Offset, 1989), h. 108.
[12]Ibid., h. 109.
[13]Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., h.184.
[14]Harun Nasution, op. cit., h. 13-21           
[15]Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., h. 176-183.
[16]Harun Nasution, op. cit., h.12.
[17]Ibid., h.13.
[18]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 303.
[19]al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Jilid I (Kairo : Mustafa al-Baby al-Halabiy, 1967), h. 139.
[20]Ahmad Amin, Duha al-Islam Juz III (Cet. VIII, t.d), h. 280.
[21]Ibid., h. 279.
[22]Ibid., h. 280.
[23]Ibid., h. 324.
[24]W. MontgomeryWatt, Theology and Philosophy, diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. (Cet. I; Jakarta: P3M, 1987), h. 42.
[25]A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 188.
[26]Harun Nasution, op. cit., h. 25. 

Tags:

0 Responses to “PAHAM KHAWARIJ”

Posting Komentar

Subscribe

Donec sed odio dui. Duis mollis, est non commodo luctus, nisi erat porttitor ligula, eget lacinia odio. Duis mollis

© 2013 Bagi Duit. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks